Pembacaan Alkitab : Lukas 10:25-37
Saat memposting cerita pertemuan
saya dengan seorang anak jalanan yang menjadi kondaktur metro mini, di salah
satu group facebook, saya menyatakan ketidaknyamanan batin saya karena merasa belum
cukup banyak melakukan aksi untuk menolong semua anak jalanan. Beberapa teman
memberi komentar bernada kerinduan untuk melakukan sesuatu yang berarti.
Yang menarik dari semua komentar adalah ada satu pertanyaan yang
diajukan yakni “Apa yang sudah gereja lakukan untuk persoalan sosial ini?” Saya
membacanya sambil mengurutkan kening. Ia tahu persis masalah ada dan saat kami
yang lain berpikir tentang apa yang harus dan bisa kami lakukan, ia malah
memandang persoalan dalam nada tanya apa yang sudah gereja lakukan?
Gereja bukan hanya lembaga
melainkan orang per orang. Gereja adalah anda masing-masing. Pada saat anda bertanya
tentang apa yang sudah gereja lakukan adalah pertanyaan tentang apa yang sudah anda
lakukan. Sayangnya banyak yang hanya melulu melakukan sorotan terhadap gereja
sebagai lembaga untuk beraksi.
Pada saat menemukan ada manusia yang tergeletak di jalan, lewatlah
seorang imam tapi ia berlalu begitu saja tanpa aksi apapun untuk menolong. Lalu
lewat lagi orang Lewi tapi ia juga hanya memandang dan tidak melakukan apapun.
Banyak alasan yang diperkirakan menjadi alasan tindakan kedua orang pemimpin
agama ini yakni bisa jadi hari itu adalah hari Sabat dan mereka sedang
terburu-buru berjalan menuju Bait Allah di Yerusalem. Tapi alasan ibadah sama
sekali tidak bisa dibenarkan untuk meninggalkan seorang yang terluka parah di
tengah jalan. Mereka melihat namun sama sekali tidak berbelas kasihan.
Bisa jadi ketidakperdulian mereka berangkat dari konsep biar orang
lain saja yang tolong. Masalah dipandang sebagai kewajiban pihak lain untuk
selesaikan. Sementara orang Samaria, orang yang dianggap kafir oleh orang
Israel, pada saat ia lewat, ia menunjukkan belas kasihan. Pertolongan yang ia
lakukan seperti suatu kewajiban yang harus ia nyatakan. Masalah yang ada di
depan matanya tidak ia lihat sebagai kewajiban orang lain melainkan
kewajibannya sehingga ia tidak saja tergerak oleh belas kasihan. Ia juga membalut
luka-luka orang malang itu, ia menyiram minyak dan anggur ke tubuhnya dan
menaikkannya ke atas keledai tunggangannya sendiri sementara ia berjalan kaki
sambil menuntun keledainya.
Tidak saja itu, ia juga membayar pihak penginapan untuk merawat orang malang
itu.
Seperti orang Samaria yang murah
hati ini, ada banyak masalah di sekitar kita. Masalah mesti dilihat sebagai
panggilan dari Allah untuk kita segera melakukan sesuatu. Sejauh kita terus
melihat masalah sebagai kewajiban pihak lain maka kita tidak akan pernah menjadi
sesama bagi orang lain, apalagi menjadi Kristus bagi mereka. Jauh lebih
menyedihkan apabila kita malah sibuk membuat dalil teologi tentang
ketidakperdulian kita dan tentang apa yang harus gereja lakukan, sambil
menempatkan diri sebagai hakim yang menonton dan menghakimi.
Wise
Words: Kasih tidak boleh setengah-setengah supaya limpahan berkat dari langit
juga tidak setengah-setengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar