Ayub 3 : 20 – 26; Yohanes 9 : 1 – 7
Manusia sebagai makluk berpikir membuatnya selalu
berusaha mencari jawab untuk mengerti demi memuaskan rasa ingin tahu dan tanya.
Tapi sampai kapanpun manusia tidak akan berhenti bertanya. Saat sakit, ditimpa
masalah dan kematian menerpa orang-orang benar, orang selalu pasang kata
‘mengapa’ dan berusaha mengerti. Kalau orang berdosa yang ditimpa kemalangan
maka kita tidak perlu bertanya mengapa karena ia menuai apa yang ditaburkannya.
Berbeda ketika kemalangan menimpa orang baik dan sepertinya tidak harus begitu.
Kalau apapun yang terjadi kita bilang terima saja itu juga sulit karena manusia
makluk beriman tapi juga makluk berpikir. Dan sebenarnya dengan menempatkan
tanya, bukan berarti bahwa itu tanda tiada iman.
Ayub juga bertanya ketika penderitaan menerpanya. Ayub
hamba Allah yang baik tapi ditimpa kemalangan yang hebat. Semua jenis penderitaan ada padanya. Hartanya
habis, anak-anaknya semua meninggal, ia ditimpa penyakit, istrinya mengabaikan
dia. Dan dalam penderitaan, Ayub juga berusaha mengerti kenapa ia ditimpa
kemalangan bertubi-tubi. Maka ia bertanya kepada Tuhan. Teman-temannya berusaha
juga mencari jawab baginya dan berujung pada menyalahkan Ayub. Bagaimanapun harus
Ayub yang salah, tidak mungkin Allah yang salah karena penderitaan dilihat
sebagai bentuk hukuman Allah. Maka orang yang dihukum adalah orang yang
bersalah.
Ayub tidak tinggal diam dipersalahkan. Apalagi dalam
upaya menjawab mengapa ia menderita, ia tidak menemukan kesalahan apapun yang
diperbuatnya yang membuatnya layak untuk dihukum. Ayub pun membela dirinya
karena ia sendiri tidak mengerti apa yang salah yang pantas untuk membuatnya
dihukum begitu hebat. Seandainya dia orang berdosa maka mudah menjawab mengapa.
Namun dalam pandangan Allah sendri, ayub adalah orang benar.
Di dalam ketidakmengertian, Ayub menyalahkan dirinya
sendiri. Ia mengutuki hari lahirnya (Ayub 3:1-19). Kemarin bapa Sony juga
bilang ‘Andai Iren tidak pernah ada maka susahnya tidak seperti ini.’ Sementara
untuk bisa hamil Eirene saja adalah keajaiban mengingat umur ibunya. Ditambah lagi
proses melahirkan Eirene adalah proses yang sulit dan ibunya hampir meninggal. Andai
ia tidak pernah lahir. Andai ia meninggal saat dilahirkan maka duka yang
dirasakan tidak seberat ini. Kenapa Tuhan menunggu sampai 5 tahun 9 bulan?
Ayub mengajukan tanya kepada Allah dalam pertanyaan
mengapa? (Ayat 20-22). Dan Allah menjawab Ayub. Allah datang dalam badai dan
menjawab Ayub (Pasal 38) tapi apakah jawaban Allah memuskan pertanyaan Ayub?
Tidak. Jawaban Allah bukan jawaban untuk memuaskan tanya. Allah tidak menjawab dengan
kalimat menghibur. Padahal Allah begitu mengasihi dan membanggakan Ayub. “Apakah
engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorang pun di bumi seperti
dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi
kejahatan” (Ayub 1:8). Ayub 38:2-3 menulis bahwa Allah malah balik bertanya
kepada Ayub, “Siapakah dia yang.......’ Kemudian dilanjutkan dengan pernyataan
Allah tentang awal mula ciptaan dimana Ayub tidak ada dan tidak mungkin Ayub
tahu tentang berapa luasnya bumi ciptaan Allah dan berbagai keajaiban ciptaan. Dengan
kata lain Allah menolak memberi jawaban yang untuk memuaskan tuntutan logika
Ayub tentang sebab musabab penderitaan dan dukacitanya.
Apa yang sedang Allah lakukan terhadap Ayub? Apa yang
Allah inginkan dari Ayub? Dengan jawaban-jawaban Allah itu, Ia mau Ayub
mengerti bahwa itulah hidup. Kita hidup dan menikmati bumi, matahari, hujan dan
segala sesuatunya tanpa kita bagaimana bumi bisa berputar dan kita tidak jatuh.
Bagaimana ini dan itu bisa terjadi. Bagaimana semesta yang begini besar bisa
berjalan tanpa planet betabrakan. Kenapa kucing mengeong sementara kambing
mengembik? Haruskah dimengerti kenapa? Yang kita perlu tahu adalah Allah ada
dan memungkinkan segalanya. Yang Allah inginkan bukan memuaskan tanya kita
dengan teori panjang tapi bagaimana memiliki sikap yang tepat dalam menjalani
hidup. Yang Allah inginkan adalah pasrah diri sepenunya secara utuh dan
menyelutuh atas apapun juga yang terjadi. Sakit, penderitaan, mati adalah
realitas yang pasti dihadapi semua orang. kenapa orang baik menderita? Kenapa
Ayub menderita? Kenapa keluarga ini menderita? Itulah bagian dari hidup. Satu-satunya tempat dimana tidak ada
penderitaan adalah kematian.
Tuhan Yesus juga berhadapan dengan kecenderungan yang
sama dari murid-murid yang melihat penderitaan dan sakit sebagai bagian dari
hukuman Tuhan. Dan Ia mengajar tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi penderitaan
manusia. Yohanes 9 mencatat saat Tuhan Yesus dan murid sedang dalam perjalanan,
dan menemukan orang yang buta sejak lahir dan pertanyaan yang diajukan adalah
pertanyaan mengapa yakni mengapa ia buta, siapa yang salah? Pertanyaan yang
selalu diungkapkan setiap kali kita mengalami kemalangan atau bertemu dengan
sesama yang malang dan menderita menurut ukuran kita.
Menjawab pertanyaan ini Yesus tidak ingin kita
menghabiskan energi serta mengarahkan konsentrasi kita pada persoalan yang
bersifat spekulatif yaitu pertanyaan “mengapa?”. Kalau kepada Ayub, secara
implisit Allah ingin mengatakan, bahwa kalaupun Ia menjawabnya, Ayub toh tak
akan mengerti juga. Manusia terlalu terbatas untuk mengerti dengan logika.
Karya Allah dalam semesta tak terbatas dan tak mungkin dimengerti oleh manusia
yang terbatas. Kepada murid-murid Yesus mengatakan tidak ada yang salah tapi penderitaan
itu harus terjadi karena itulah hidup namun di dalam realitas hidup, Allah
melakukan karya yang baik yakni pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di
dalam dia yang menderita.
Ya...inilah hidup. Hadapi hidup dengan berani, apapun
juga yang menerpa. Menjadi Kristen bukan jaminan bahwa hidup tanpa soal dan semua
tanya bisa dijawab dengan memuaskan. Bukan karena Allah tidak mau jawab dan
memuaskan kita melainkan karena kemampuan logika kita tidak akan membuat kita
mengerti. Pada posisi ini hanya dibutuhkan iman untuk menerima bahwa Allah ada
dan kita pasti tertolong. Justru di dalam kelemahanlah kuasa Allah menjadi
sempurna. Di dalam ketidakmengertianlah kita tahu bahwa Allah berkuasa dan kita
akan baik-baik saja apapun yang terjadi.
Yang benar bukan usaha untuk memuaskan jawab kita
melainkan bagaimana kita merespon apapun yang terjadi sambil tetap mempercai
Allah dan tidak membiarkan penderitaan penderitaan dan dukacita menghancurkan
hidup kita. Di dalam duka dan derita, sebagai bagian dari hidup, kita bisa
menjalaninya di dalam Tuhan. Selalu ada cara untuk tetap bertahan. Bagaimanapun
inilah akibat dari dosa manusia secara keseluruhan. Mencicipi dosa membuat
manusia terhukum dengan maut dan penderitaan namun Tuhan ada.
Di dalam Kristus ada jaminan bahwa seberapapun
beratnya derita , Allah bukan Allah yang menonton dari jauh. Allah di dalam
Kristus adalah Allah yang membuktikan bahwa Ia ada dalam derita kita, Ia mau
menanggung derita kita dan Ia hadir di dalam diri mereka yang menderita dan
berduka karena Ia telah secara langsung mengalaminya, bahkan mengalami
penderitaan terhebat di salib.
Bagaimana Allah tidak mengasihi manusia yang
menderita? Untuk manusia saja Ia rela mati untuk menggantikan kita yang harus
mengalami penderitaan yang hebat. Kasih Allah akan memungkinkan kita tetap
melangkah di dalam iman dan terus hidup. Allah selalu menyediakan cara untuk
kita melanjutkan hidup. Itulah sebabnya walau keluarga menangis, walau jemaat
menangis karena kehilangan ini, tapi kita masih bisa tertawa mengingat apa yang
Eiren lakukan selama ia hidup. Bagaimana ia telah menghibur kita selama 5 tahun
9 bulan. Bagaimana ia telah meninggalkan banyak cerita lucu yang akan membuat
kita tersenyum.
Ayub harus mengalami penderitaan yang hebat dan itu membuatnya payah namun Allah
membuat penderitaan Ayub menjadi cerita yang menguatkan kita sampai saat ini. Kita
yang bergumul dengan penderitaan dapat belajar dari Ayub dan kita bertahan
dalam iman.
Orang kristen mati, yang tidak kristen pun mati. Orang
Kristen dan tidak Kristen sakit, berduka, menangis dan payah. Semua menderita.
Dimanakah Tuhan orang Kristen? Dia ada bersama kita maka kita mampu bertahan di
dalam iman.
Dikhotbahkan pada Pemakaman Anak Eirene Zacharias
Maulafa, 16 Januari 2018
Terima kasih isi khotbahnga, saya bersyukur dn berterima kasih atas kisah penderitaan yg tlh di alami Ayub semoga menjadi betkat bagi yg seiman.
BalasHapus